kaper

kaper
Karyaane

Minggu, 13 Juli 2014

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (13)

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (13)

 
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

Alladzii ja’ala lakum minasy syajaril akhdlari naaran fa idzaa antum minHu tuuqiduun (“Yaitu Rabb yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan [api] dari kayu itu.”) yaitu Rabb yang memulai penciptaan pohon ini dari air, hingga menjadi hijau indah, berbuah dan berbunga, kemudian Dia mengulanginya hingga menjadi kayu-kayu kering untuk menyalakan api. Seperti itu pula Dia melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya dan Mahakuasa atas apa saja yang dikehendaki-Nya, tidak ada satupun yang mampu mencegah-Nya.
Qatadah berkata tentang firman-Nya: Alladzii ja’ala lakum minasy syajaril akhdlari naaran fa idzaa antum minHu tuuqiduun (“Yaitu Rabb yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan [api] dari kayu itu.”) Rabb yang menjadikan api ini dari pohon tersebut tentu Mahakuasa untuk membangkitkannya.”
“81. dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha mengetahui. 82. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia. 83. Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Yaasiiin:81-83)
Allah berfirman mengabarkan dan mengingatkan tentang kekuasaan-Nya yang agung dalam menciptakan tujuh lapis langit dan yang terkandung di dalamnya berupa bintang-bintang yang beredar dan tetap, serta menciptakan tujuh lapis bumi dan apa yang terkandung di dalamnya berupa gunung-gunung, batu-batuan, lautan, hutan dan isinya. Diapun mengarahkan untuk mengambil dalil tentang dikembalikannya jasad-jasad dengan penciptaan  sesuatu yang agung inii, seperti firman Allah: lakhalqus samaawaati wal ardli akbaru min khalqin naasi (“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia.”)(al-Mu’min: 57)
A wa laisal ladzii khalaqas samaawaati wal ardla biqaadirin ‘alaa ay yakhluqa mitslaHum (“Dan tidakkah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu?”) yaitu seperti manusia. Lalu Dia mengulanginya mereka seperti Dia memulai penciptaan mereka. Hal itu dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Balaa wa Huwal khallaaqul ‘aliim. Innamaa amruHuu idzaa araada syai-an ay yaquula laHuu kung fayakuun (“Benar, Dia berkuasa. Dan Dia-lah Mahapencipta lagi Mahamengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah maka terjadilah ia.’”) yaitu Dia memerintahkan kepada sesuatu hanya dengan satu perintah, tidak butuh pengulangan dan penguat.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Dzarr berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai hamba-hamba-Ku, seluruh kalian adalah berdosa kecuali orang yang Aku beri ‘afiat. Maka minta ampunlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kalian. Seluruh kalian adalah fakir kecuali orang yang Aku cukupi. Sesungguhnya Aku Mahapemurah, dimana tidak ada orang yang pemurah  yang memberikan kemurahannya. Aku melakukan apa yang Aku kehendaki. Pemberian-Ku adalah al-Kalam dan siksa-Ku adalah al-Kalam. Jika Aku menghendaki sesuatu, Aku hanya mengatakan: ‘Jadi’, maka jadilah.’”
Dan firman Allah Ta’ala: fa subhaanalladzii biyadiHii malakuutu kulli syai-iw wa ilaiHi turja’uun (“Maka, Mahasuci [Allah] yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”) yaitu pensucian, pengkultusan dan pembebasan dari keburukan bagi Rabb Yang Mahahidup lagi Mahaberdiri Yang di Tangan-Nya kekuasaan langit dan bumi. Dan hanya kepada-Nya kembali seluruh urusan. Hanya hak-Nya menciptakan dan memerintah dan hanya kepada-Nya dikembalikan seluruh hamba. Lalu Dia membalas setiap pelaku sesuai amalnya. Dia Mahaadil, Mahapemberi nikmat lagi Mahamemiliki karunia.
Dan makna firman: Dan firman Allah Ta’ala: fa subhaanalladzii biyadiHii malakuutu kulli syai-iw (“Maka, Mahasuci [Allah] yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu,”) seperti firman Allah: qul mam biyadiHii malakuutu kulli syai-in (“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu?’”)(al-Mu’minun: 88)
Al-mulku dan al-malakuutu memiliki satu makna seperti kata rahmatun dan rahamuutun, raHbatun dan raHabuutun, khabarun dan khabaruutun. Di antara manusia ada orang yang mengira bahwa al-mulku adalah alam jasad [fisik] dan al-malukuutu adalah alam ruh. Pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama, dan itulah yang dipegang oleh jumhur mufassirin dan lain-lain.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Hudaifah –yaitu Ibnul Yaman- berkata: “Suatu malam aku melaksanakan shalat malam bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau membaca tujuh ayat panjang dalam beberapa rakaat. Jika Rasulullah saw. mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau mengucapkan “sami’allaaHuliman hamidah” kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Rabb Yang memiliki Malakuut, Jabaruut, kesombongan dan keagungan.” Ruku’ beliau sama dengan berdirinya dan sujudnya seperti ruku’nya. Lalu beliau selesai dan hampir-hampir kedua kakiku terluka.”
Abu Dawud, at-Tirmidzi dalam asy-Syamaa-il dan an-Nasa-i, dari Hudzaifah, bahwa dia melihat Rasulullah saw. melakukan shalat malam dan berdoa: “AllaHu akbar [3x] Rabb Yang memiliki Malakuut, Jabaruut, kesombongan dan keagungan.” Kemudian beliau membaca doa iftitah, lalu membaca surat al-Baqarah, kemudian beliau rukuk dan rukuknya hampir sama dengan berdirinya. Dan beliau berdoa dalam rukuknya: “Subhaana rabiyal adziim [Mahasuci Rabb-ku yang Mahabesar].” Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari rukuk dan berdirinya hampir sama dengan rukuknya.  Dan beliau berdoa dalam berdirinya itu: “Lirabbiyal hamdu [untuk Rabbku puji-pujian]” kemudian beliau sujud dan sujudnya itu hampir sama dengan berdirinya. Beliau berdoa dalam sujudnya: :”Subhaana rabbiyal a’laa [Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi]” kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan beliau duduk di antara dua sujud yang hampir sama dengan sujudnya. Beliau berdoa dalam duduknya: “Rabbighfirlii [Rabbku, ampunilah aku]” lalu beliau shalat empat rakaat dan membaca surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisaa’, al-Maa-idah atau al-An’am –Syu’bah ragu-ragu- ini adalah lafazh Abu Dawud.
Sekian.

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (12)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

“74. mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan. 75. berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka; Padahal berhala- berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka. 76. Maka janganlah Ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (Yaasiin: 74-76)
Allah Ta’ala berfirman mengingkari orang-orang musyrik yang menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilahnya lain bersama Allah. Mereka berharap dengan semua itu semoga ilah-ilahnya itu dapat menolong, memberi rizki dan mendekatkan diri mereka kepada Allah sebagai perantara. Allah Ta’ala berfirman: laa yastathii’uuna nashraHum (“Berhala-berhala itu tidak dapat menolong mereka.”) yaitu ilah-ilah itu tidak kuasa menolong para penyembahnya, bahkan dia lebih lemah, lebih minim, lebih hina dan lebih jelek dibandingkan mereka. Bahkan dia tidak kuasa menolong diri sendiri serta tidak kuasa pula menolak orang yang hendak berbuat jahat kepadanya. Karena, dia adalah benda mati yang tidak dapat mendengar lagi tidak dapat berfirkir.
Firman Allah: wa Hum laHum jundum muhdlaruun (“Padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.”) Mujahid berkata: “Yaitu, ketika hisab [masa perhitungan]. Yang dimaksud adalah, berhala-berhala ini dikumpulkan dan dihimpun pada hari kiamat menghadiri perhitungan para penyembahnya, agar hal itu lebih hebat membuat duka cita mereka serta lebih menunjukkan pada mereka tentang tegaknya hujjah bagi mereka.
Qatadah berkata: laa yastathii’uuna nashraHum (“Berhala-berhala itu tidak dapat menolong mereka.”) yaitu ilah-ilah itu. wa Hum laHum jundum muhdlaruun (“Padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.”) orang-orang musyrik itu marah kepada ilah-ilah yang mereka sembah di dunia. Dia tidak memberikan kebaikan kepada mereka dan tidak dapat menolak keburukan, karena mereka hanyalah berhala-berhala.” Demikian yang dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri. Pendapat ini baik dan menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Fa laa yahzungka qauluHum (“Maka janganlah ucapan mereka menyedihkanmu.”) yaitu upaya mereka yang mendustakanmu dan mengkufuri Allah. Innaa na’lamu maa yusirruuna wa maa yu’linuun (“Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.”) yaitu Kami mengetahui seluruh kondisi mereka dan Kami akan membalas mereka serta akan memperlakukan mereka atas semua itu pada hari dimana amal-amal  mereka tidak ada yang luput, baik yang agung, yang hina, yang kecil atau yang besar. Bahkan, seluruh amal yang mereka kerjakan akan diperlihatkan, baik yang telah berlalu maupun yang baru.
“77. dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! 78. dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” 79. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. 80. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, Maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” (Yaasiin: 77-80)
Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Urwah bin az-Zubair, as-Suddi dan Qatadah berkata: “Ubay bin Khalaf –semoga Allah melaknatnya- datang kepada Nabi saw.  sedangkan ia membawa tulang yang hancur di tangannya. Dia membuang dan menaburkannya ke udara sambil berkata: “Hai Muhammad, apakah engkau mengira bahwa Allah akan membangkitkan ini kembali?” Rasulullah bersabda: “Ya. Allah Ta’ala akan mematikanmu, kemudian Dia membangkitkanmu, lalu Dia kumpulkan kamu ke dalam api neraka.” Maka turunlah akhir surat Yaasiin ini: a wa lam yaral ingsaanu annaa khalaqnaaHu min nuthfating fa idzaa Huwa khashiimum mubiin (“dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!”)
Ibnu Abi Hatim berkata: “Atas dasar apapun, makna ayat ini adalah umum untuk semua orang yang mengingkari hari kebangkitan.  Sedangkan alif dan lam yang terdapat dalam firman Allah: a wa lam yaral ingsaanu, adalah untuk jenis yang mencakup setiap orang yang mengingkari hari kebangkitan.”
Annaa khalaqnaaHu min nuthfating fa idzaa Huwa khashiimum mubiin (“bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!”) yaitu apakah orang yang mengingkari hari kebangkitan tidak mengambil petunjuk dari awal penciptaan sebagai dalil  adanya pengembalian? Sesungguhnya Allah telah memulai penciptaan manusia dari setetes air yang hina, lalu Dia menciptakannya dari sesuatu yang rendah, lemah dan hina. Sebagaimana firman Allah: a lam nakhluqkum mim maa-im maHiin. Faja’alnaaHu fii qaraarim makiin. Ilaa qadarim ma’luum (“Bukankah Kami menciptakanmu dari air yang hina, kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh [rahim] sampai waktu yang ditentukan?”)(al-Mursalaat: 20-22). Bukankah Rabb Yang telah menciptakannya dari air yang hina yang lemah ini , Mahakuasa pula untuk mengembalikannya setelah kematian?
Wa dlarabalanaa matsalaw wanasiya khalqaHu qaala may yuhyil ‘idzaama wa Hiya ramiim (“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?’”) yaitu dia menganggap mustahil dikembalikannya  jasad-jasad dan tulang-tulang yang telah hancur luluh ini oleh Allah. Yang memiliki kekuasaan besar Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan dia melupakan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakannya dari tidak ada menjadi ada. Maka dia mengetahui pada dirinya sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka anggap mustahil, mereka ingkari dan mereka bantah. Untuk itu Allah berfirman: qul yuhyiiHal ladzii angsya-aHaa aw wala marratin wa Huwa bikulli khalqin ‘aliim (“Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Mahamengetahui tentang segala makhluk.’”) yaitu Mahamengetahui tulang-tulang di seluruh pelosok dan sudut bumi, kemana hilangnya dan dimana hancur luluhnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ar-Rib’i, ia berkata: ‘Uqbah bin ‘Amr berkata kepada Hudzaifah: Maukah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah saw. lalu ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kematian mendatangi seseorang. Ketika ia telah putus asa dari kehidupannya, dia memberikan wasiat kepada keluarganya: ‘Jika aku mati, himpunlah kayu bakar yang banyak untukku. Kemudian bakarlah kayu-kayu itu dengan api, hingga ketika api telah menelan dagingku dan menghanguskan tulang-belulangku, lalu aku menjadi tengkorak, maka ambillah dan gilinglah oleh kalian  dan tebarlah di lautan.’ Lalu mereka melakukannya. Maka Allah Ta’ala menghimpunnya dan dikatakan kepadanya: ‘Kenapa engkau melakukan demikian?’ dia berkata: ‘Karena takutku kepada-Mu.’ lalu Allah mengampuninya.
‘Uqbah bin ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda tentang hal itu dan orang itu adalah pencuri kafan kuburan.” Keduanya mentakhrij dalam ash-Shahihain, dari hadits ‘Abdul Malik bin ‘Umair dengan lafazh yang banyak.

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (11)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

Tercantum dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw pada hari penggalian parit beliau meniru bait-bait ‘Abdullah bin Rawahah, akan tetapi mengikuti perkataan para sahabatnya. Mereka membuat bahar rajaz saat menggali dengan bersenandung: “Ya Allah. Seandainya tidak ada Engkau, niscaya kami tidak akan mendapatkan hidayah, tidak bershadaqah dan tidak shalat. Turunkanlah ketentraman kepada kami, dan kokohkanlah kaki-kaki kami jika kami menghadapi musuh. Sesungguhnya orang-orang lama berbuat dzalim kepada kami. Jika mereka menghendaki fitnah, kami menolakknya.” Rasulullah meninggikan dan memanjangkan suaranya, “Kami menolaknya.”
Begitu pula tercantum bahwa Rasulullah saw berkata pada hari perang Hunain saat mengendarai unta menghadapi musuh berkata: “Aku adalah Nabi dan bukan kedustaan. Aku adalah anak ‘Abdul Muththalib.” Akan tetapi mereka mengatakan ini hanya kebetulan, tanpa sengaja membuat bait syi’ir. Bahkan lisan beliau bergerak sendiri tanpa memiliki maksud membuatnya. Itu pulalah yang tercantum dalam ash-Shahihain, bahwa Jundub bin ‘Abdullah berkata: “Dahulu kami berada bersama Rasulullah saw. di sebuah gua. Lalu terlukalah jarinya, maka Rasulullah bersabda: ‘Engkau tidak lain melainkan satu jari yang terluka dan apa yang engkau temui di jalan Allah.’
Semua itu tidak berarti meniadakan bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahui syi’ir dan tidak layak baginya. Karena Allah swt. hanya mengajarkan al-Qur’an al-‘Adzim. Laa ya’tiiHil baathilu mim baini yadaiHi wa laa min khalfiHi tanziilum min hakiimin hamiid (“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari [Rabb] Yang Mahabijaksana Lagi Mahaterpuji.” (Fushilat: 42)
Al-Qur’an bukanlah syi’ir, sebagaimana yang diduga oleh sekelompok  orang kafir Quraisy yang bodoh, bukan tenung, bukan buatan dan bukan sihir, seperti dijenis-jeniskan oleh pendapat-pendapat pakar sesat dan bodoh. Sesungguhnya Rasulullah saw. enggan membuat syair, baik secara tabiat maupun secara syar’i. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa ‘Abdurrahman bin Rafi’ at-Tanukhi berkata, aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak peduli apakah aku meminum obat penawar racun, menggantungkan tamimah atau mengucapkan sya’ir dari diriku sendiri.” (Abu Dawud meriwayatkannya sendiri)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Naufal berkata, aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apalah Rasulullah saw. menguasai sya’ir?” maka beliau menjawab: “Sya’ir adalah kalimat yang paling dibencinya.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, penuhnya mulut salah seorang kalian dengan nanah lebih baik baginya daripada dipenuhi dengan sya’ir.” (Beliau meriwayatkannya sendiri dari jalur ini. Dan isnadnya menurut syarat ash-Shahihain, akan tetapi keduanya tidak mentakhrij hadits ini).
Akan tetapi, ada sya’ir yang diisyaratkan, yakni sindiran-sindiran terhadap orang-orang musyrik yang dilantunkan oleh para ahli sya’ir Islam, seperti Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, ‘Abdullah bin Rawahah dan orang-orang semisal mereka –semoga Allah meridlai mereka-. Di antara syair mereka terdapat pula sya’ir yang mengandung pelbagai hikmah, nasehat dan adab sebagaimana yang terdapat di dalam sebagian kelompok ahli sya’ir Jahiliyyah. Di antara mereka adalah Umayyah bin Abi ash-Shalt yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Syairnya beriman, hatinya kufur.”
Sebagian sahabat menyenandungkan seratus bait kepada nabi saw. dimana Rasulullah menyambut akhir setiap bait dengan kalimat Hayyah. Yaitu merasakannya dan menambahkannya.
Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Ubay bin Ka’ab, Buraidah bin al-Kashib dan ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, di antara bayan adalah sihir dan di antara sya’ir ada yang mengandung hukum.”
Untuk itu Allah berfirman: wa maa ‘allamnaaHusy syi’ra (“Dan Kami tidak mengajarkan sya’ir kepadanya,”) yaitu, Muhammad saw. tidak diajarkan syair oleh Allah. Wa maa yambaghiilaH (“Dan bersyair itu tidaklah layak baginya.”) yaitu tidak patut baginya. In Huwa illaa dzikruw waqur-aanuum mubiin (“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”) tidak ada yang Kami ajarkan kepadanya.
Illaa dzikruw wa qur-aanum mubiin (“Tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”) yaitu yang jelas dan tegas serta indah bagi yang merenungkan dan mentadabburkannya. Untuk itu Allah berfirman: liyundzira mang kaana hayyaa (“Supaya dia [Muhammad] memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.”) yaitu agar al-Qur’an yang jelas ini memberi peringatan kepada setiap makhluk hidup di muka bumi. Sedangkan  yang  dapat mengambil manfaat dari peringatannya itu hanyalah orang hidup dan mata hatinya bersinar. Sebagaimana Qatadah berkata: “Yang hidup qalbunya  dan hidup mata hatinya.” Adl-Dlahhak berkata: “Yaitu orang yang berakal.”
Wa yahiqqal qaulu ‘alal kaafiriin (“Dan supaya pastilah [ketetapan adzab] terhadap orang-orang kafir.”) yaitu, al-Qur’an adalah rahmat bagi orang-orang  yang beriman dan hujjah bagi orang-orang yang kafir.
“71. dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka Yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? 72. dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.
73. dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?” (Yaasiin: 71-73)
Allah Ta’ala menyebutkan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepada para makhluk-Nya berupa binatang-binatang ternak yang ditundukkan untuk mereka. faHum laHaa maalikuun (“Lalu mereka menguasainya.”) Qatadah berkata: “Menguasainya yaitu menjadikan mereka memiliki kemampuan memaksanya. Bahkan seandainya anak kecil datang kepada mereka, niscaya  dia mampu menjinakkannya dan seandainya dia mau dia dapat menaiki dan mengendarainya. Itulah ketundukan dan kepatuhan binatang kepada manusia. Begitu juga seandainya terdapat kendaraan seratus unta atau lebih, niscaya seluruhnya dapat dikendalikan oleh seorang anak kecil.”
Fa minHaa raquubuHum wa minHaa ya’kuluun (“Maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan.”) yaitu diantaranya ada  yang ditunggangi dalam perjalanan serta untuk membawa berbagai barang yang berat menuju berbagai arah dan daerah. Wa minHaa ya’kuluun (“Dan sebagiannya mereka makan.”) jika mereka mau, mereka dapat memotong dan menyembelihnya. Wa laHum fiiHaa manaafi’u (“Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat.”) yaitu pada bulu-bulu tebalnya, bulu-bulu tipisnya dan rambutnya  sebagai barang-barang rumah tangga atau barang-barang dagangan hingga batas waktu tertentu. Wa masyaarib (“Dan minuman.”) dari susunya dan air seninya untuk berobat dan lain-lain. Afalaa yasykuruun (“Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”) mengapakah mereka  tidak juga mengesakan Pencipta dan Pengatur semua itu serta menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya?

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (10)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

Firman Allah: a falam takuunuu ta’qiluun (“Maka apakah kamu tidak memikirkannya?”) yaitu apakah kalian tidak memiliki akal fikiran saat kalian menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Rabb kalian berupa beribadah hanya kepada-Nya  Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, serta musuh kalian adalah syaitan.
“63. Inilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengannya). 64. masuklah ke dalamnya pada hari ini disebabkan kamu dahulu mengingkarinya. 65. pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.66. dan Jikalau Kami menghendaki pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan, Maka betapakah mereka dapat melihat(nya). 67. dan Jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah mereka di tempat mereka berada; Maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali.” (Yaasiin: 63-67)
Dikatakan kepada orang-orang kafir di kalangan Bani Adam pada hari kiamat, neraka jahim dipamerkan kepada mereka  sebagai celaan dan hinaan, HaadziHii jaHannamulatii kuntum tuu’aduun (“Inilah jahanam yang dahulu kamu diancam [dengannya].”) yaitu, inilah dahulu yang diperingatkan oleh para Rasul, lalu kalian mendustakan mereka.  ishlauHal yauma bimaa kuntum takfuruun (“Masuklah kamu ke dalamnya pada hari ini disebabkan kamu dahulu mengingkarinya.”)
Al yauma nakhtimu ‘alaa afwaaHiHim wa tukallimunaa aidiiHim wa tasyHadu arjuluHum bimaa kaanuu yaksibuun (“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka;  dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” Ini adalah kondisi orang-orang kafir dan orang-orang munafik pada hari kiamat ketika mereka mengingkari perilaku buruk yang mereka lakukan di dunia serta bersumpah dengan apa yang telah mereka lakukan. Lalu Allah menutup lisan-lisan mereka, sedangkan anggota tubuh mereka  berbicara tentang apa yang sudah mereka perbuat.
Sufyan bin ‘Uyainah  berkata dari Abu Hurairah, bahwa di dalam hadits panjang tentang hari kiamat, Rasulullah saw. bersabda: “Kemudian orang ketiga dihadapkan. Dia bertanya: ‘Siapa engkau?’ orang itu menjawab: ‘Hamba-Mu. Aku  beriman kepada-Mu, kepada Nabi-Mu dan kepada kitab-kitab-Mu. Aku berpuasa, aku shalat dan aku bershadaqah.’ Dan ia menceritakan berbagai kebaikan yang ia mampu. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Bukankah telah Kami utus kepadamu saksi Kami?’ orang itu sesaat berfikir: ‘Siapakah yang menjadi saksi baginya, padahal mulutnya dikunci.’ Dikatakan kepada pahanya: ‘Berbicaralah!’ lalu paha, daging dan tulangnya berbicara tentang apa yang dikerjakannya. Itulah dia orang munafik yang memberi alasan pada dirinya sendiri dan itulah orang yang dimurkai Allah Ta’ala.” (HR Muslim dan Abu Dawud dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah secara panjang)
Dan firman Allah: walau nasyaa-u lathamasnaa ‘alaa a’yuniHim fastabaqush shiraatha fa annaa yubshiruun (“Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba [mencari] jalan. Maka betapakah mereka dapat melihat[nya].”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkannya; Dia berfirman, Jikalau Kami menghendaki, niscaya Kami menyesatkan mereka dari petunjuk, maka bagaimana mereka akan mendapat petunjuk.” Murrah berkata: “Kami butakan mereka.” Al-Hasan al-Bashri berkata: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia akan menghapuskan mata mereka, sehingga menjadikan mereka buta dan bingung.” As-Suddi berkata: “Dia berkata, jikalau Kami menghendaki, niscaya Kami butakan penglihatan mereka.” Mujahid, Abu Shalih, Qatadah dan as-Suddi berkata: “Berlomba-lombalah kalian berjalan di shirath, yaitu jalan.” Ibnu Zaid berkata: “Yang dimaksud shirath disini adalah kebenaran, mengapakah mereka tidak melihatnya? Sesungguhnya Kami telah melenyapkan mata mereka.” Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: fa annaa yubshiruun, yaitu mereka tidak dapat melihat kebenaran.”
Firman Allah: walau nasyaa-u lamasakhnaaHum ‘alaa makaanatiHim (“Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah Kami rubah mereka di tempat mereka berada.”) al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Kami binasakan mereka.” As-Suddi berkata: “Sungguh Kami akan merubah ciptaan mereka.” Fa mastathaa’uu mudliyyan (“Maka mereka tidak sanggup berjalan lagi”) ke depan. Wa laa yarji’uun (“Dan tidak [pula] sanggup kembali.”) ke belakang. Bahkan mereka tetap berada di satu tempat tersebut, tidak dapat maju dan tidak  mundur.
“68. dan Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan Dia kepada kejadian(nya). Maka Apakah mereka tidak memikirkan? 69. dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. 70. supaya Dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasiin: 68-70)
Allah mengabarkan tentang Bani Adam, setiap kali umurnya panjang, dia akan kembali kepada kelemahan setelah berada dalam kekuatan  dan kembali kepada kelelahan setelah berada dalam semangat. Yang dimaksud ayat ini –wallaaHu a’lam- adalah sebuah kabar tentang dunia ini, bahwa dia adalah tempat yang akan lenyap dan akan berpindah, bukan tempat kekal dan tempat tinggal. Untuk itu Allah berfirman: a falaa ya’qiluun (“Maka apakah mereka tidak memikirkan?”) yaitu memikirkan dengan akal fikiran mereka tentang permulaan penciptaan mereka. Kemudian, Dia menjadikan mereka sampai pada beruban, kemudian masa tua agar mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan untuk satu tempat lain yang tidak akan lenyap dan tidak akan berpindah serta tidak akan lolos darinya, itulah negeri akhirat.
Dan firman Allah: wa maa ‘allamnaaHusy syi’ra wa maa yambaghii laHu (“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya [Muhammad], dan bersyair itu tidaklah layak baginya.”) Allah berfirman mengabarkan tentang Nabi-Nya, Muhammad saw. bahwa Dia tidak mengajarkannya syi’ir, wa maa yambaghiilaHu (“Dan bersyair itu tidak layak baginya”)  yaitu bukan merupakan tabiatnya, tidak menguasainya dan tidakk menyenanginya serta tidak menjadi tuntutan tabiatnya. Datang satu berita bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menghafal satu bait yang bersusun. Bahkan, jika beliau menyenandungkannya, beliau akan lari dan tidak menyempurnakannya.
Abu Zur’ah ar-Razi berkata, Isma’il bin Mujalid bercerita kepada kami, dari ayahnya bahwa asy-Sya’bi berkata: “Abdul Muththalib tidak pernah mendapatkan anak laki-laki dan perempuan melainkan pasti mengucapkan sya’ir, kecuali Rasulullah saw.” hal itu disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam biografi ‘Uthbah bin Abi Lahab.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata: “Jika terdapat satu berita yang meragukan, Rasulullah menyenandungkan satu bait syair: wa ya’tiika bil akhbaari  mal lam tuzawwid (“Dan akan datang membawa berita kepadamu orang yang belum kamu siapkan.”) demikian yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i, dari hadits al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Kemudian at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (9)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

Ubay bin Ka’ab, Mujahid, al-Hasan dan Qatadah berkata: “Mereka tidur seperti tidur sebelum kebangkitan.” Qatadah berkata: “Hal itu terjadi di antara dua tiupan. Untuk itu mereka berkata: ‘Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?’” Di saat mereka menanyakan demikian, maka orang-orang yang beriman memberikan jawabannya. Itulah yang dikatakan oleh banyak ulama salaf: Haadzaa maa wa’adar  rahmaana wa shadaqal mursaluun (“Inilah yang dijanjikan [Rabb] Yang Mahapemurah dan benarlah Rasul-rasul[-Nya]”) hal itu seperti firman Allah: wa qaaluu yaa wailanaa Haadzaa yaumuddiin. Haadzaa yaumul fashlil ladzii kuntum biHii tukadzdzibuun (“Dan mereka berkata: ‘Aduhai celakalah kita!’ inilah hari pembalasan, inilah hari keputusan yang kamu selalu mendustakannya.”)(ash-Shaaffaat: 20-21)
Ing kaanat illaa shaihataw waahidatang fa-idzaaHum jami’ul ladainaa muhdlaruun (“Tidak ada teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.”)  seperti firman Allah: fa innamaa Hiya zajratuw waahidaH. Fa idzaaHum bis-saaHirah (“Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.” (an-Naazi’aat: 13-14). Yaitu, Kami hanya memerintahkan mereka dengan satu perintah, maka dengan serta merta mereka hadir kembali. Fal yauma laa tudzlamu nafsung syai-aa (“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun.”) yaitu amalnya. Wa laa tujzauna illaa maa kuntum ta’maluun (“Dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”)
“55. Sesungguhnya penghuni syurga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). 56. mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. 57. di syurga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. 58. (kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai Ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang.” (Yaasiin: 55-58)
Allah Ta’ala mengabarkan tentang penghuni surga, dimana pada hari kiamat, ketika mereka telah berangkat dari perkumpulan, mereka turun di taman-taman surga dalam keadaan tidak peduli  dengan orang lain, karena mereka berada dalam kenikmatan yang langgeng dan keberuntungan yang agung.
Al-Hasan al-Bashri dan Ismail bin Abi Khalid berkata: “Yaitu tidak peduli dengan adzab yang dialami oleh penghuni neraka. Mujahid berkata: “Syughuling faakiHuun (“Bersenang-senang dalam kesibukan [mereka],”) yaitu, dalam kenikmatan yang mengherankan mereka.” Demikian yang dikatakan oleh Qatadah.
Dan firman Allah: Hum wa azwaajuHum (“Mereka dan istri-istri mereka”) Mujahid berkata: “Yaitu bidadari-bidadari mereka. Fii dzilaalin (“Berada dalam tempat teduh”) yaitu diteduhi pohon-pohon, ‘alal araa-iki muttaki-uun (“Bertelekan di atas dipan-dipan.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Muhammad bin Ka’ab, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan Khushaif berkata: al-araa-iki yaitu dipan-dipan yang berada di bawah tirai pengantin. [Aku berkata]  bandingannya di dalam dunia adalah singgasana yang berada di bawah. wallaaHu a’lam.”
Dan firman Allah:  laHum fiiHaa faakiHaH (“Di surge itu mereka memperoleh buah-buahan.”)  dengan seluruh jenisnya, wa laHum maa yadda’uun (“Dan memperoleh apa yang mereka minta.”) yaitu kapan saja mereka minta, niscaya mereka akan mendapat seluruh bentuk kelezatan.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sulaiman bin Musa, bahwasannya Kuraib bercerita kepada kami, dia mendengar Usamah bin Zaid berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah. Apakah ada orang yang bersegera menuju surga? Sesungguhnya surga itu tidak pernah terlintas. Demi Rabb pemilik Ka’bah, dia semuanya cahaya yang bersinar, wangi yang semerbak, istana yang megah, sungai yang gemericik, buah-buahan yang renyah, pasangan-pasangan yang baik, cantik dan para bidadari yang banyak, tempat kekal di daerah keselamatan, buah-buahan yang menghijau, baik dan nikmat serta tempat-tempat yang tinggi dan menyenangkan.” Mereka menjawab: “Ya Rasulallah, kami adalah orang-orang yang bersegera.” Rasulullah bersabda: “Katakanlah: ‘Insyaa AllaaH [jika Allah menghendaki]”). Lalu orang-orang mengucapkan: “insyaa AllaaH.” Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di kitab az-Zuhud dalam sunannya.
Dan firman Allah: salaamung qaulam mir rabbiHim (“Salam, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Mahapenyayang.”) Ibnu Juraij berkata, Ibnu ‘Abbas berkata tentang firman Allah Ta’ala: salaamung qaulam mir rabbiHim (“Salam, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Mahapenyayang.”) sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan kesejahteraan kepada penghuni surga.” Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas ini seperti firman Allah Ta’ala: tahiyyatuHum yauma yalqaunaHuu salaamun (“Salam penghormatan kepada mereka [orang-orang Mukmin itu] pada hari mereka menemui-Nya ialah: ‘Salam’” (al-Ahzab: 44)
“59. dan (Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, Hai orang-orang yang berbuat jahat. 60. Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”, 61. dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. 62. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar diantaramu, Maka Apakah kamu tidak memikirkan ?.” (Yaasiin: 59-62)
Allah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang kondisi orang kafir yang kembali kepada-Nya pada hari kiamat dimana Dia memerintahkan mereka untuk memisahkan diri, tempat berdiri mereka  berbeda dengan orang-orang yang beriman. Seperti firman Allah: wa yauma taquumus saa’atu yauma-idziy yatafarraquun (“Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu mereka [manusia] bergolong-golongan.”)(ar-Ruum: 14)
A lam a’Had ilaikum yaa banii aadama al-laa ta’budusy syaithaana innaHuu lakum ‘aduwwum mubiin (“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai bani Adam, supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”) ini merupakan ejekan dari Allah Ta’ala kepada orang-orang kafir dari golongan Bani Adam yang mentaati syaitan. Padahal syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi mereka, serta bermaksiat kepada Allah Yang Mahapemurah. Padahal Dia-lah Yang menciptakan mereka dan memberikan rizki kepada mereka. Firman Allah: wa an a’buduunii Haadzaa shiraathum mustaqiim (“Dan hendaklah kamu beribadah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus.”) ini jalan yang lurus, akan tetapi kalian mengikuti jalan yang lain dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh syaitan kepada kalian.
Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: wa laqad adlal-la mingkum jibillang katsiiran (“Sesunguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebagian besar di antaramu.”) dikatakan: jibillan, adalah dengan kasrah jim dan tasydid lam.” Ada pula yang mengatakan: “Jubulan adalah dengan mendlamahkan jim dan ba’ serta meringankan lam.” Di antara mereka ada pula yang mensukunkan ba, dan yang dimaksud adalah banyak makhluk. Itulah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, as-Suddi dan Sufyan bin ‘Uyainah.

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (8)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

“45. dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat”, (niscaya mereka berpaling). 46. dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. 47. dan apabila dikatakakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu”, Maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah Kami akan memberi Makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”. (Yaasiin: 45-47)
Allah berfirman mengabarkan tentang kegigihan orang-orang musyrik dalam penyimpangan dan kesesatan mereka, serta tidak merasa banyaknya dosa-dosa mereka yang lalu dan yang akan datang di hadapan mereka pada hari kiamat.  Wa idzaa qiilalaHumut taquu maa baina aidiikum wa maa khalfaHum (“dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang”) Mujahid berkata: “Dari berbagai dosa.” Ulama lain berkata sebaliknya. La’allakum turhamuun (“Supaya  kamu mendapat rahmat [niscaya mereka berpaling].”) yaitu agar Allah –dengan sebab ketakwaan kalian itu- akan merahmati kalian dan menyelamatkan kalian dari adzab-Nya.
Makna di balik itu adalah bahwa mereka tidak diperkenankan hal yang demikian, bahkan mereka berpaling darinya. Cukuplah hal itu dengan firman Allah Ta’ala: wa maa ta’tiiHim min aayatim min aayaati rabbiHim (“Dan sekali-sekali tidak datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Rabb mereka.”) yaitu, atas kebenaran tauhid dan kebenaran para Rasul. Illaa kaanuu ‘anHaa mu’ridliin (“Melainkan mereka selalu berpaling darinya.”) yaitu, mereka tidak berharap dan tidak menerimanya serta tidak dapat mengambil manfaat darinya.
Dan firman Allah: wa idzaa qiila laHum anfiquu mimmaa razaqakumullaaHu (“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Nafkahkanlah sebagian dari rizki yang diberikan Allah kepadamu,”) yaitu mereka diperintahkan untuk menafkahkan rizki yang diberikan oleh Allah atas mereka kepada para fuqara dan kaum Muslimin yang membutuhkan, qaalalladziina kafaruu lilladziina aamanuu (“Maka orang-orang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman,”) yaitu kepada orang-orang fakir yang beriman, kaum mukminin yang membutuhkan infak yang diperintahkan kepada mereka untuk menafkahkannya. Anuth’imu mallaw yasyaa-ullaaHu ath’amaH (“Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan?”) yaitu orang-orang yang kalian perintahkan kepada kami  untuk menafkahkan harta kami kepada mereka adalah orang yang yang seandainya Allah kehendaki, niscaya Dia akan memperkaya mereka dan memberi makan  kepada mereka dari rizki-Nya. Dan kami menyesuaikan diri dengan kehendak kehendak Allah kepada mereka.In antum illaa fii dlalaalim mubiin (“Tidaklah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.”)  yaitu pada perintah kalian kepada kami tentang hal itu.
“48. dan mereka berkata: ‘Bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang benar?’ 49. mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja  yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar. 50. lalu mereka tidak Kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya.” (Yaasiin: 48-50)
Allah Ta’ala mengabarkan tentang anggapan orang-orang kafir yang menganggap mustahil terjadinya hari kiamat dalam perkataan mereka: mataa Haadzal wa’du (“Bilakah [terjadinya] janji ini?”) yasta’jilu biHalladziina laa yu’minuuna biHaa (“Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan.”)(asy-Syuura: 18)
Maa yandzuruuna illaa shaihataw waahidatan ta’khudzuHum waHum yakhishshimuun (“Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan  mereka ketika mereka sedang bertengkar.”) yaitu mereka tidak menunggu kecuali satu teriakan saja. Ini –wallaaHu a’lam- adalah tiupan faza’ [kekagetan]. Dia menutup shur dengan tiupan  yang mengagetkan, sedangkan manusia di pasar-pasar dan di tempat-tempat pencarian nafkah saling bertengkar dan ribut seperti kebiasaan mereka. Di saat mereka seperti itu, tiba-tiba Allah memerintahkan Israfil untuk meniup shur yang memanjang dan melebar. Sehingga tidak ada satu makhlukpun yang tersisa di muka bumi kecuali tertunduk dan menengadah, yaitu, permukaan-permukaan leher yang sedang mendengarkan suara dari arah langit. Kemudian, manusia-manusia yang ada saat itu digiring ke tempat berkumpul  pada hari kiamat, sedangkan api neraka mengelilingi mereka  dari berbagai sudut. Untuk itu Allah berfirman: wa laa yastathii’uuna taushiyatan (“Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat pun”)  atas apa yang mereka miliki, karena urusan di saat itu lebih penting dari masalah tersebut.  Wa laa ilaa aHliHim yarji’uun (“Dan tidak [pula] dapat kembali kepada keluarganya.”) Setelah itu ada tiupan menggelegar yang mematikan semua makhluk  hidup selain  Rabb Yang Mahahidup lagi Mahaberdiri sendiri. Kemudian, setelah itu terjadilah tiupan kebangkitan.
“51. dan ditiuplah sangkalala, Maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. 52. mereka berkata: ‘Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?’. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya). 53. tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, Maka tiba- tiba mereka semua dikumpulkan kepada kami. 54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (Yaasiin: 51-54)
Inilah tiupan ketiga, yaitu sebuah tiupan kebangkitan dan perkumpulan, dimana manusia dibangkitkan dari kubur. Untuk itu Allah berfirman: fa idzaaHum minal ajdaatsi ilaa rabbiHim yansiluun (“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera  dari kuburnya [menuju] kepada Rabb mereka.”) an-naslaan adalah berjalan cepat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: yauma yakhrujuuna minal ajdaatsi siraa’ang ka-annaHum ilaa nushubiy yuufidzuun (“[yaitu] pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala [sewaktu di dunia]”)(al-Ma’aarij: 43).
Qaaluu yaa wailanaa mam ba’atsanaa mim marqadinaa (“Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami [kubur]?”) ini tidak berarti menolak adanya siksaan di dalam kubur mereka, karena masalah itu dihubungkan dengan kedasyatan sesudahnya adalah seperti orang yang tidur.

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (7)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

Dia menjadikan matahari memiliki cahaya yang khusus baginya dan bulan memiki cahaya yang khusus pula baginya dan berbeda perjalanan  antara keduanya. Matahari terbit setiap hari  dan terbenam pada akhirnya dengan satu sinar,  akan tetapi ia berpindah-pindah  pada tempat terbit dan terbenam pada musim panas dan musim dingin. Dengan sebab itu, siang dapat lebih panjang dan malam dapat lebih pendek. Kemudian, malam dapat lebih panjang dan siang dapat lebih pendek serta menjadikan kekuasaannya  pada siang hari dan itulah bintang siang. Sedangkan bulan, telah ditetapkan baginya manzilah-manzilah yang terbit pada awal malam bulan dalam keadaan sabit, dengan cahaya kecil. Kemudian, sedikit demi sedikit bertambah pada malam yang kedua dan manzilahnya semakin naik. Kemudian, setiap kali manzilah itu meninggi, semakin terang sinarnya, sekalipun disadur dari cahaya matahari, sehingga semakin sempurna sinarnya pada malam ke empatbelas. Kemudian, dia mulai berkurang kembali sampai akhir bulan, sehingga seperti bentuk tandan tua.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Itulah pokok [asal] tandan.” Dan Mujahid berkata: “Al-urjuun al-qadiim yaitu tandan yang kering [tua], Ibnu ‘Abbas mengartikannya sebagai pokok tandan kurma yang telah lama, kering dan melengkung.”  Setelah hal tersebut, Allah Ta’ala menampakkan bulan dalam bentuk baru di awal manzilah akhir.
Lasyamsu yambaghiilaHaa an tudrikal qamara (“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan.”) Mujahid mengatakan: “Setiap matahari dan bulan mempunyai batasan yang tidak bisa dilampaui dan tidak bisa dikurangi oleh lainnya. Jika kemungkinan [mendapatkan yang lainnya] ini terjadi, maka akan timbul kemampuan untuk membatasi.” Ats-Tsauri mengatakan dari Abi Shalih: “Tidaklah cahaya matahari mendapatkan bulan dan tidak pula cahaya bulan mendapatkan matahari.”
Wa lallailu saabiqun naHaar (“Dan malampun tidak dapat mendahului siang”) Allah berfirman, tidak sepatutnya jika malam telah terjadi, malam selanjutnya akan terjadi sehingga malam sebelumnya  menjadi siang. Maka terbitnya matahari dengan adanya  siang dan terbitnya bulan  dengan adanya malam.
Adl-Dlahhak berkata: “Malam tidak akan berlalu hingga siang datang dari arah tersebut.” Dan ia memberikan isyarat pada arah timur. Mujahid mengatakan: “Wa lallailu saabiqun naHaar (“Dan malampun tidak dapat mendahului siang”) dua hal yang dituntut cepat, yang mana salah satunya akan mendahului yang lain.  Dan makna tafsiran tersebut yaitu, tidak ada selang waktu antara malam dan siang, akan tetapi setiap dari keduanya [terjadi] tanpa keterlambatan dan tidak ketinggalan [dari yang lainnya] karena keduanya bekerja tanpa pamrih lagi tekun yang dituntut dengan tuntutan yang cepat.
Wa kullung fii falakiy yasbahuun (“Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”) yakni malam, siang, matahari dan bulan semuanya beredar, yaitu berputar pada garis edar langit. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, adl-Dlahhak, al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ al-Khurasani. Ibnu ‘Abbas dan selainnya dari kaum salaf –lebih dari satu orang berkata: “Garis edarnya seperti putaran alat pemintal benang.” Mujahid berkata: “Garis edarnya bagaikan besi putar atau bagaikan putaran alat pemintal benang, yang mana alat pemintal tidak akan berputar kecuali dengan putaran tersebut dan putaran itu  tidak akan berputar kecuali dengan alat pemintal tersebut.
“41. dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan. 42. dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu. 43. dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, Maka Tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. 44. tetapi (kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.” (Yaasiin: 41-44)
Allah Ta’ala berfirman dan menjadi tanda pula bagi mereka atas kekuasaan Allah, yaitu ditundukkannya lautan untuk membawa perahu-perahu. Di antara buktinya, bahkan bukti pertama adalah perahu Nabi Nuh a.s. yang diselamatkan Allah bersama orang-orang mukmin yang ikut serta bersamanya, dimana tidak ada lagi keturunan Adam a.s di muka bumi selain mereka. Untuk itu Allah berfirman: wa aayatul laHum annaa hamalnaa dzurriyyataHum (“Dan suatu tanda [kebesaran Allah yang besar] bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka,”) yaitu nenek moyang mereka. Fil fulkil masyhuun (“dalam bahtera yang penuh muatan.”) yaitu perahu yang dipenuhi barang-barang dan hewan yang berpasang-pasangan yang diperintahkan Allah untuk dibawa di dalamnya. Ibnu ‘Abbas berkata: “Al-masyhuun adalah yang dipenuihi.” Demikian yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Qatadah, dan as-Suddi. Sedangkan adl-Dlahhak, Qatadah dan Ibnu Zaid berkata: “Yaitu perahu Nuh a.s.”
Wa khalaqnaa laHum mim mitsliHii maa yarkabuun (“Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu,”) al-‘Aufi berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Yang dimaksud adalah unta. Karena unta itu adalah bahtera daratan yang digunakan untuk membawa sesuatu yang dikendarai.” Demikian yang dikatakan oleh ‘Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah dan satu riwayat pendapat ‘Abdullah bin Syaddad dan lain-lain. As-Suddi dalam satu riwayatnya mengatakan: “Yaitu binatang-binatang ternak.” Ibnu Jarir berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Apakah kalian mengerti tentang firman Allah: Wa khalaqnaa laHum mim mitsliHii maa yarkabuun (“Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu,”) kami menjawab: “Tidak.” Dia berkata: “Itu adalah perahu-perahu sejenis yang dibuat setelah perahu Nuh a.s.” demikian yang dikatakan oleh Abu Malik, adl-Dlahhak, Qatadah, Abu Shalih dan as-Suddi.
Wa in nasya’ nughriqHum (“Dan jika Kami mengehendaki, niscaya Kami tenggelamkan mereka.”) yaitu orang-orang yang berada di dalam kapal tersebut. Fa laa shariikhu laHum (“Maka tiadalah bagi mereka penolong”)  tidak ada lagi penolong bagi mereka  yang dapat menyelamatkan mereka dari kondisi yang mereka alami. Wa laa Hum yungqadzuun (“Dan tidak pula mereka diselamatkan.”)  yaitu dari peristiwa yang menimpa mereka, illaa rahmatam minnaa (“Tetapi[Kami selamatkan mereka] karena rahmat yang besar dari Kami.”) ini adalah istitsna munqathi’ (pengecualian terputus). Makna yang terkandung adalah: “Akan tetapi dengan rahmat Kami, Kami jalankan kalian di daratan dan di lautan serta Kami selamatkan kalian hingga waktu yang ditentukan.” Untuk itu Allah berfirman: wa mataa’an ilaa hiin (“Dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.”) yaitu, hingga waktu tertentu  yang diketahui di sisi Allah.

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (6)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

“37. dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. 38. dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. 39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. 40. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yaasiin: 37-40)
Allah Ta’ala berfirman bahwa di antara petunjuk bagi mereka tentang kekuasaan Allah Tabaaraka wa Ta’ala Yang agung adalah penciptaan malam dan siang. Malam dengan kegelapannya dan siang dengan cahaya sinarnya.  Serta Dia jadikan keduanya silih berganti, jika malam dating siang pergi, dan jika siang datang malampun pergi. Sebagaimana firman Allah: yughsyil lailan nahaara yathlubuhuu hasyiisyaa (“Dia menutup  malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (al-A’raaf: 54)
Untuk itu Allah berfirman di sini: wa aayatul lahumul lailu naslakhu minhun nahaar (“Dan suatu tanda [kekuasaan Allah yang besar] bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu.” Yaitu Kami tanggalkan, lalu dia pergi dan datanglah malam. Untuk itu Allah berfirman: fa idzaahum mudzlimuun (“Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.”) sebagaimana tercantum  di dalam sebuah hadits: “ Jika malam datang dari arah sana, maka siang mundur ke arah lain. Dan matahari terbenam, maka pertanda bagi orang yang berpuasa untuk berbuka.” Inilah makna yang zhahir dalam ayat tersebut.
Dan firman Allah: Wasy syamsu tajrii limustaqarrillahaa dzaalika taqdiirul ‘aziizil ‘aliim (“Dan matahari berjalan  di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan  Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.” Pada makna firman-Nya: limustaqarrillahaa (“Di tempat peredarannya.”) terdapat dua pendapat. Salah satunya mengatakan bahwa yang dimaksud aalah tempat peredarannya, yaitu di bawahg ‘Arsy yang dekat ke arah bumi dari sisi tersebut. Dimanapun berada, matahari dan seluruh makhluk berada di bawah Arsy, karena ‘Arsy merupakan atapnya dan bukan berbentuk bulat, sebagaimana yang dikira oleh para ahli hukum alam. Dia berbentuk kubah yang memiliki beberapa tiang yang dibawa oleh para Malaikat an dia berada di atas alam seperti yang terlihat di atas  kepala. Maka, matahari jika berada di dalam kubah falak di waktu siang, maka dia berada lebih dekat kepada ‘Arsy. Dan jika dia memutar  pada falak ke empat menuju tempat tersebut, yaitu di waktu pertengahan malam, maka dia semakin menjauh dari ‘Arsy. Di saat itu dia sujud dan meminta izin untuk terbit, sebagaimana yang tercantum di beberapa hadits.
Al-Bukhari meriwayatkan  bahwa Abu Dzarr  berkata: “Aku bersama Nabi saw di dalam masjid ketika terbenamnya matahari. Lalu Rasulullah saw. bersabda: ‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu dimana matahari itu terbit?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah saw. menjawab: ‘Dia itu pergi, hingga sujud di bawah ‘Arsy. Itulah firman Allah Ta’ala: Wasy syamsu tajrii limustaqarrillahaa dzaalika taqdiirul ‘aziizil ‘aliim (“Dan matahari berjalan  di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan  Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.”)”
Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, dari Abu Dzarr yang berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang firman Allah Wasy syamsu tajrii limustaqarrillahaa (“Dan matahari berjalan  di tempat peredarannya.”) Rasulullah saw. menjawab: “Tempat beredarnya di bawah ‘Arsy”
Demikianlah yang dijelaskan di sini. Serta telah ditakhrij di beberapa tempat dan diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah, dari beberapa jalur, dari al-A’masy.
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwasanya Abu Dzarr berkata: “Aku bersama Rasulullah saw. di dalam masjid ketika matahari tenggelam. Lalu Rasulullah saw. bersabda: ‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu dimana perginya matahari?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Dia pergi, hingga sujud di hadapan Rabb-nya untuk meminta izin kembali. Lalu dia diizinkan seakan dikatakan kepadanya: ‘Kembalilah darimana engkau datang. Lalu dia kembali ke tempat terbitnya dan itulah tempat peredarannya.’ –Kemudian beliau membaca-, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.”
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah akhir perjalanannya, yakni ujung naiknya di langit di waktu musim dingin, yaitu Aujaha, kemudian ke ujung bawahnya di saat musim panas, yaitu al-Hadlidl.
Pendapat kedua, bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah tempat akhir perjalanannya, yaitu pada hari kiamat. Batallah perjalanannya, terhenti gerakannya, beredar dan berakhirlah ala mini. Dan ini adalah waktu peredaran. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas  membaca: wasy syamsu tajrii limustaqarrillaHaa, yaitu tidak tetap dan tidak tenang. Bahkan dia terus berputar, siang dan malam tanpa lelah dan tidak henti-hentinya. Sebagaimana firman Allah : wa sakhkhara lakumusy  syamsa wal qamara daa-ibaiin (“Dan Dia telah menundukkan [pula] bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar [dalam orbitnya].”) (QS 14: 33). Yaitu, tidak lelah dan tidak berhenti sampai hari kiamat.
Dzaalika taqdiirul ‘aziizi (“Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa.”) yakni yang tidak dibantah dan tidak dilanggar. Al-‘aliim (“Lagi Mahamengetahui”) tentang seluruh gerakan dan segala sesuatu yang diam. Sesungguhnya hal itu sudah ditetapkan dan waktunya  di atas satu aturan  yang tidak berbeda dan tidak terbalik. Kemudian Allah Jalla wa Ta’ala berfirman: wal qamara qaddarnaaHu manaazila (“Dan telah Kami  tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,”) yaitu kami jadian ia berjalan dalam perjalanan lain yang dapat dijadikan  tanda berlalunya bulan, sebagaimana dengan matahari yang dapat diketahui antara siang dan malam.
Sebagaimana firman Allah: yas-aluunaka ‘anil aHillaH. Qul Huwa mawaaqitsu linnaasi wal hajj (“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda  waktu bagi manusia dan [bagi ibadah] haji.”) (al-Baqarah: 189) dan firman-Nya yang artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (Yunus: 5)

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (5)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

“30. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. 31. tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka 32. dan Setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada kami.” (Yaasiin: 30-32)
‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Ta’ala: yaa hasratan ‘alal ‘ibaad (“Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu.”) yaitu, alangkah celakanya hamba-hamba itu.” Qatadah berkata: “yaa hasratan ‘alal ‘ibaad (“Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu.”) yaitu alangkah celaka hamba-hamba itu terhadap diri mereka sendiri atas apa yang mereka sia-siakan dari perintah Allah dan kelalaian mereka di sisi Allah.”
Pada bagian qira-at: yaa hasratan ‘alal ‘ibaad, makna hal ini berarti alangkah rugi dan menyesalnya mereka pada hari kiamat saat mereka menyaksikan azab, bagaimana dulu mereka mendustakan Rasul-Rasul Allah serta menyelisihi perintah-Nya. Karena di dunia dulu  mereka mendustakan mereka.
Maa ya’tiihim mir rasuulin illaa kaanuu bihii yastaHzi-uun (“Tidak dating seorang Rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya.”) yaitu, mereka mendustakan, mengolok-olok dan mengingkari kebenaran risalah yang disampaikannya. Kemudian Allah berfirman:
Alam yaraw kam aHlaknaa qablaHum minal quruuni annahum ilaihim laa yarji’uun (“Tidakkah mereka mengatahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasannya [orang-orang yang kami binasakan itu] tidak kembali kepada mereka.”) yaitu tidaklah mereka mendapatkan  nasehat dari [peristiwa] dibinasakannya orangg-orang sebelum mereka yang mendustakan para Rasul. Sebagaimana di dunia ini mereka tidak memiliki jalan keluar. Perkaranya tidak sebagaimana yang dikira oleh kebanyakan orang-orang bodoh dan orang-orang fajir di kalangan mereka yang berkata:
In hiya illaa hayaatunaddun-yaa namuutu wa nahyaa (“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup.” (al-Mu’minuun: 37). Mereka adala orang-orang yang mengatakan tentang perputaran masa dari kelompok atheis. Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan karena kebodohannya bahwa mereka adalah orang-orang yang akan dikembalikan ke dunia, sebagaimana keberadaan mereka dulu. Maka Allah Ta’ala menolak pandangan bathil mereka dengan firman-Nya: Alam yaraw kam aHlaknaa qablaHum minal quruuni annahum ilaihim laa yarji’uun (“Tidakkah mereka mengatahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasannya [orang-orang yang kami binasakan itu] tidak kembali kepada mereka.”)
Dan firman Allah: wa ing kullul lammaa jamii’ul ladainaa muhdlaruun (“Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami.”) yaitu sesungguhnya  seluruh umat terdahulu akan dihadirkan pada hari kiamat untuk diperhitungkan di hadapan Allah. Lalu Dia membalas seluruh amal mereka, yang baik maupun yang buruk. Makna ayat ini seperti firman Allah: wa inna kulla lammaa layuwaf fannahum rabbaka a’maalahum (“dan sesungguhnya kepada masing-masing [mereka yang berselisih itu] pasti Rabb-mu akan menyempurnakan dengan cukup [balasan] pekerjaan mereka.” (Huud: 111).
Para ahli qira-at berbeda pendapat tentang membaca huruf ini. Di antaranya ada yang membaca (wa ing kullul lamaa) dengan takhfif (tanpa tasdid). Menurutnya bahwa (in) adalah itsbat (menetapkan). Sedangkan sebagian lagi ada yang membacanya dengan tasdid (lammaa) dan menjadikan (in) sebagai naïf (meniadakan) dan (lammaa) dengan makna illaa. Maknanya adalah, semuanya tidak ada kecuali semuanya akan didatangkan di sisi Kami. Dan makna  dua bacaan tersebut adalah satu.
“33. dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. 34. dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, 35. supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?36. Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yaasiin: 33-36)
Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman: wa aayatul lahum (“Dan suatu tanda [kekuasaan Allah yang besar] bagi mereka.”) yaitu tanda bagi mereka tentang adanya Mahapencipta, kekuasaan-Nya yang sempurna dan perbuatan-Nya menghidupkan yang mati. Al-ardlul maitatu (“adalah bumi yang mati”) yaitu dahulu bumi itu mati dan gersang, tidak ada tumbuhan satu pun. Lalu ketika Allah  Ta’ala menurunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: ahyainaaHaa wa akhrajnaa minHaa habbang faminHu ya’kuluun (“Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.”) yaitu Kami jadikan hal itu sebagai risky bagi mereka dan binatang-binatang ternak mereka.
Wa ja’alnaa fiihaa jannaatim min nakhiiliw wa a’naabiw wafajjarnaa fiihaa minal ‘uyuun (“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.”) yaitu, Kami jadikan di dalamnya sungai-sungai yang mengalir di tempat-tempat yang mereka butuhkan agar mereka dapat memakan buah-buahnya. Dia telah memberikan nikmat-Nya kepada para makhluk dengan diadakannya tanam-tanaman, lalu Dia menyambungnya dengan menyebutkan buah-buahan, macam-macam dan jenis-jenisnya.
Dan firman Allah: wa maa ‘amalathu aidiihim (“Dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka.”) yaitu, semua itu tidak mungkin  kecuali dari rahmat Allah Ta’ala kepada mereka, bukan semata-mata kemampuan dan kekuatan mereka. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Qatadah. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: a fa laa yasykuruun (“Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”) maka mengapakah mereka tidak bersyukur atak kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada mereka berupa nikmat-nikmat yang tidak terhingga dan tidak terhitung.
Ibnu Jarir memilih –bahkan memastikannya, dan tidak menceritakan pendapat lainnya, kecuali beberapa kemungkinan-, bahwa pada firman-Nya: wa maa ‘amilathu aidiihim, bermakna agar mereka memakan buah-buahannya dan apa-apa yang diusahakan oleh tangan-tangan mereka, yaitu mereka tanam dan gali. Begitu pula dalam qira’at Ibnu  Mas’ud: liya’kuluu min tsamarihii wa maa ‘amilathu aidiihim a fa laa yasykuruun.
Kemudian Allah berfirman: subhaanalladzii khalaqal  azwaaja kullahaa mimmaa tunbitul ardlu (“Mahasuci Rabb yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi,”) yaitu berupa tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan tanam-tanaman. Wa min anfusihim (“Dan dari diri mereka.”) dimana Dia menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Wa mimmaa laa ya’lamuun (“Maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”) yaitu berupa makhluk-makhluk lain yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana Allah Yang Mahaagung berfirman: wa ming kullu syai-in khalaqnaa zaujaini la’allakum tadzakkaruun (“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (adz-Dzaariyaat: 49)

Tafsir Al-Qur’an Surah Yaasiin (4)

18 Mar
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yaasiin
Surah Makkiyyah; Surah ke 36: 83 ayat

“20. dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu’. 21. ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. 22. mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? 23. mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain nya jika (Allah) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? 24. Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesunguhnya aku telah beriman kepada Rabb-mu, maka dengarkanlah [pengakuan keimanan]ku. (Yaasiin: 20-25)
Ats-Tsauri berkata dari ‘Ashim al-Ahwal, dari Abu Mijlaz bahwa namanya adalah Habib bin Surri. Syuhaib bin Bisyr berkata dari ‘Ikrimah bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: “Nama laki-laki di surat Yaasiin adalah Habib an-Najjar yang dibunuh oleh kaumnya.” Qatadah berkata: “Dia beribadah di sebuah gua.
Qaala yaa qaumit tabi’ul mursaliin (“Ia berkata: Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.”) dia mendorong kaumnya untuk mengikuti utusan-utusan yang mendatangi mereka, it-tabi’uu mallaa yas-alukum ajraa (“Ikutilah orang yang tidak minta balasan kepadamu.”) yaitu sebagai balasan menyampaikan risalah. Wa hum muhtaduun (“Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Tentang apa yang mereka serukan kepada kalian berupa beribadah kepda Allah semata Yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Wa maa liya laa a’budulladzii faththaranii (“Mengapa aku tidak menyembah [ilah] yang telah menciptakanku.”) yaitu apa yang mencegahku untuk memurnikan ibadah kepada Rabb yang menciptakan , Mahaesa yang tidak ada sekutu baginya? Wa ilaihi turja’uun (“Dan hanya kepada-Nya-lah kamu [semua] akan dikembalikan.”) yaitu pada hari dikembalikannya kalian, lalu Dia membalas kalian atas amal-amal kalian. Jika amalnya baik maka akan dibalas dengan kebaikan,  dan jika amalnya baik buruk akan dibalas dengan keburukan.
A attakhidzu min duunihii aalihah (“Mengapa aku akan menyembah ilah-ilah selain-Nya.”) pertanyaan, pengingkaran, ejekan dan hinaan. Iyyuridnir rahmaanu bidlurrillaa tughni ‘annii syafaa’atuhum syai-aw walaa yungqadzuun (“Jika [Allah] Yang Mahapemurah menghendaki kemudlaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak  memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak  [pula] dapat menyelamatkanku.”) yaitu, ilah-ilah yang kalian sembah selain Allah ini tidak memiliki urusan sedikitpun. Seandainya Allah Ta’ala menghendaki keburukan bagiku, fa laa kaasyifalahuu illaahuwa (“Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia sendiri.”) (al-‘An’am: 17).
Berhala-berhala itu tidak mampu  menolak dan mencegah terjadinya semua itu, dan mereka tidak dapat menyelamatkanku dari apa yang aku alami. Innii idzal lafii dlalaalim mubiin (“Sesungguhnya aku kalau begini pasti berada dalam kesesatan yang nyata.”) yaitu, jika aku menjadikannya  sebagai ilah-ilah lain selain Allah. Dan firman Allah Ta’ala: innii aamantu birabbikum (“Sesungguhnya aku telah beriman kepada Rabbmu.”) yaitu yang telah mengutus kalian, fasma’uun (“Maka dengarkanlah [pengakuan keimanan]ku”) yaitu, maka saksikanlah oleh kalian tentangku dalam masalah itu. Itulah yang diceritakan oleh Ibnu Jarir.
Ulama yang lain berkata: “Bahkan, para utusan tersebut mengkhithab hal itu pula dan dia  berkata kepada mereka: ‘Dengarkanlah oleh kalian perkataanku agar kalian menjadi saksi bagiku tentang apa yang aku katakan kepada kalian di sisi Rabb-ku. Sesungguhnya aku beriman kepada Rabb kalian dan aku mengikuti kalian.’ Apa yang diceritakan  oleh beliau ini adalah makna yang lebih jelas dalam ayat ini. Wallaahu a’lam.
“26. dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke syurga”. ia berkata: “Alangkah baiknya Sekiranya kamumku mengetahui. 27. apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku Termasuk orang-orang yang dimuliakan”. 28. dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah Dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. 29. tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; Maka tiba-tiba mereka semuanya mati.” (Yaasiin: 26-29)
Allah Ta’ala berfirman kepadanya: udkhulil jannata (“Masuklah ke surga”) lalu ia memasukinya dan mendapatkan rizki di dalamnya. Sesungguhnya Allah telah menghilangkan penyakit dan kedukaan dunia. Mujahid berkata: “Dikatakan kepada Habib an-Najjar: ‘Masuklah ke dalam surga.’” Hal itu terjadi setelah dia terbunuh, sehingga ia berhak menerimanya. Ketika dia melihat pahala, qaala yaa laita qaumii ya’lamuun (“Ia berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,’”) Qatadah berkata: Tidak ada yang dijumpai seorang Mukmin kecuali hal yang sebenarnya dan tidak dijumpai sesuatu yang menipu, dikarenakan tampaknya apa yang benar-benar tampak dari kemuliaan Allah Ta’ala.
Yaa laita qaumii ya’lamuun. Bimaa ghafaralii rabbii wa ja’alanii minal mukramiin (“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabb-ku memberikan ampun kepadaku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”) dia berangan-angan, demi Allah, seandainya kaumku mengetahui apa yang tampak dari karunia Allah ini dan apa yang diberikan kepadanya. Ibnu ‘Abbas berkata: “Dia menasehati kaumnya di waktu kehidupannya dengan perkataannya:  yaa qaumit tabi’ul mursaliin (“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.”) dan setelah kematiannya: Yaa laita qaumii ya’lamuun. Bimaa ghafaralii rabbii wa ja’alanii minal mukramiin (“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Rabb-ku memberikan ampun kepadaku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”) (HR Ibnu Abi Hatim).
Syfan ats-Tsauri berkata dari ‘Ashim al-Ahwal, dari Abu Mijlaz, Bimaa ghafaralii rabbii wa ja’alanii minal mukramiin (“Apa yang menyebabkan Rabb-ku memberikan ampun kepadaku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”) dengan keimananku kepada Rabb-ku dan membenarkan para utusan. Maksudnya adalah, seandainya mereka melihat apa yang aku terima berupa pahala dan balasan nikmat yang melimpah, niscaya hal itu akan membawa mereka untuk mengikuti para Rasul. Lalu Allah merahmati dan meridlainya, dikarenakan  dia begitu antusias untuk memberikan hidayah kepada kaumnya.
Dan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala: wa maa anzalnaa ‘alaa qaumihii mim ba’di min jundim minas samaa-I wa maa kunnaa munziliin (“Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia [meninggal] suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.”) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menghukum kaumnya setelah mereka membunuhnya karena kemurkaan-Nya kepada mereka. Hal itu dikarenakan mereka mendustakan Rasul-Rasul-Nya dan membunuh wali-Nya. Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menurunkan pasukan Malaikat kepada mereka untuk membinasakan mereka. Akan tetapi, semua itu lebih ringan bagi-Nya. Dikatakan oleh Ibnu Mas’ud sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari sebagian sahabatnya.
Ing kaanat illaa shaihataw waahidatang fa-idzaahum khaamiduun (“Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mat.”) lalu Allah Ta’ala membinasakan kerajaan tersebut dan penduduk Antokia, sehingga mereka lenyap dari permukaan bumi dan tidak ada yang tersisa sedikitpun. Para ahli tafsir berkata: “Allah Ta’ala mengutus kepada mereka  Malaikat Jibril, lalu dia mengambil dua tiang pintu [kusen pintu] gerbang kota mereka dengan berteriak satu kali teriakan. Tiba-tiba mereka semua mati, tidak adda satu ruh pun yang tersisa dan kembali kepada jasadnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar